Sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan di sebuah Taman pada suatu malam musim panas yang indah, seusai makan malam. Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan tatkala mereka Mendengar suara di kejauhan: “Kuek! Kuek!” “Dengar,” kata si istri, “Itu pasti suara ayam.” “Bukan, bukan. Itu suara bebek,” kata si suami. “Nggak, aku yakin itu ayam,” si istri bersikeras.
“Mustahil. Suara ayam itu ‘kukuruyuuuk!’, bebek itu ‘kuek! Kuek!’ Itu bebek, Sayang,” kata si suami dengan disertai gejala-gejala awal Kejengkelan. “Kuek! Kuek!” terdengar lagi. “Nah, tuh! Itu suara bebek,” kata si suami. “Bukan, Sayang. Itu ayam. Aku yakin betul,” tandas si istri, sembari Menghentakkan kaki.
“Dengar ya! Itu a... DA... Lah... Be... Bek, B-E-B-E-K. Bebek! Mengerti?” si suami berkata dengan gusar. “Tapi itu ayam,” masih saja si istri bersikeras.
“Itu jelas-jelas bue... Bek, kamu... Kamu....” Terdengar lagi suara, “Kuek! Kuek!” sebelum si suami mengatakan sesuatu Yang sebaiknya tak dikatakannya. Si istri sudah hampir menangis, “Tapi itu ayam....” Si suami melihat air Mata yang mengambang di pelupuk Mata istrinya, Dan Akhirnya.... Wajahnya melembut Dan katanya dengan mesra, “Maafkan aku, Sayang. Kurasa kamu benar. Itu memang suara ayam kok.”
“Terima kasih, Sayang,” kata si istri sambil menggenggam tangan Suaminya. “Kuek! Kuek!” terdengar lagi suara di hutan, mengiringi mereka berjalan Bersama dalam cinta.
…………..
Maksud dari cerita bahwa si suami akhirnya sadar adalah: siapa sih yang Peduli itu ayam atau bebek? Yang lebih penting adalah keharmonisan Mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam yang Indah itu. Berapa banyak pernikahan yang hancur hanya gara-gara persoalan sepele? Berapa banyak perceraian terjadi karena hal-hal “ayam atau bebek”? Ketika Kita memahami cerita tersebut, Kita akan ingat apa yang menjadi Prioritas Kita. Pernikahan jauh lebih penting ketimbang mencari siapa yang benar tentang apakah itu ayam atau bebek. Lagi pula, betapa sering Kita merasa yakin, amat sangat mantap, mutlak bahwa Kita benar, namun belakangan ternyata Kita salah? Lho, siapa tahu? Mungkin saja itu adalah ayam yang direkayasa genetik sehingga bersuara seperti bebek.
“Mustahil. Suara ayam itu ‘kukuruyuuuk!’, bebek itu ‘kuek! Kuek!’ Itu bebek, Sayang,” kata si suami dengan disertai gejala-gejala awal Kejengkelan. “Kuek! Kuek!” terdengar lagi. “Nah, tuh! Itu suara bebek,” kata si suami. “Bukan, Sayang. Itu ayam. Aku yakin betul,” tandas si istri, sembari Menghentakkan kaki.
“Dengar ya! Itu a... DA... Lah... Be... Bek, B-E-B-E-K. Bebek! Mengerti?” si suami berkata dengan gusar. “Tapi itu ayam,” masih saja si istri bersikeras.
“Itu jelas-jelas bue... Bek, kamu... Kamu....” Terdengar lagi suara, “Kuek! Kuek!” sebelum si suami mengatakan sesuatu Yang sebaiknya tak dikatakannya. Si istri sudah hampir menangis, “Tapi itu ayam....” Si suami melihat air Mata yang mengambang di pelupuk Mata istrinya, Dan Akhirnya.... Wajahnya melembut Dan katanya dengan mesra, “Maafkan aku, Sayang. Kurasa kamu benar. Itu memang suara ayam kok.”
“Terima kasih, Sayang,” kata si istri sambil menggenggam tangan Suaminya. “Kuek! Kuek!” terdengar lagi suara di hutan, mengiringi mereka berjalan Bersama dalam cinta.
…………..
Maksud dari cerita bahwa si suami akhirnya sadar adalah: siapa sih yang Peduli itu ayam atau bebek? Yang lebih penting adalah keharmonisan Mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam yang Indah itu. Berapa banyak pernikahan yang hancur hanya gara-gara persoalan sepele? Berapa banyak perceraian terjadi karena hal-hal “ayam atau bebek”? Ketika Kita memahami cerita tersebut, Kita akan ingat apa yang menjadi Prioritas Kita. Pernikahan jauh lebih penting ketimbang mencari siapa yang benar tentang apakah itu ayam atau bebek. Lagi pula, betapa sering Kita merasa yakin, amat sangat mantap, mutlak bahwa Kita benar, namun belakangan ternyata Kita salah? Lho, siapa tahu? Mungkin saja itu adalah ayam yang direkayasa genetik sehingga bersuara seperti bebek.
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi. Yogyakarta: Idea Press. Volume 2. Hal. 387-388. ISBN 978-6028-686-938.
0 komentar:
Posting Komentar